Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?
Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone.
Yang membuatnya istimewa adalah bila songkok ini berada di kepala orang-orang atau tokoh penting, terkenal, dan semacamnya. Menjadi lebih istimewa lagi jika benang keemasan yang menghias pinggiran songkok itu diganti dengan emas sungguhan. Terlebih jika susunan emas yang sebelumnya dilebur dan dibuat menyerupai benang itu cukup tinggi dan hampir menutupi seluruh sisi songkok.
Tak jelas sejak kapan emas digunakan sebagai salah satu bagian penting dari songkok recca’. Yang jelas, saat ini penggunaan emas hampir mendominasi pembuatan songkok recca’, terutama yang digunakan kalangan pejabat, orang-orang penting, dan kalangan berpunya. Hampir serupa kasta, emas bahkan menjadi parameter derajat dan kekayaan pemakai songkok ini.
"Umumnya yang saya buatkan songkok dengan pinggiran emas adalah songkok milik petinggi atau orang penting seperti gubernur, turunan bangsawan, bupati, orang-orang kaya, dan seperti itu. Saya juga banyak membuat songkok yang akan dihadiahkan kepada pejabat-pejabat negara atau menteri, bahkan tamu asing yang berkunjung ke Sulsel," kata Rahman, pembuat songkok recca’ di Desa Paccing, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, beberapa waktu lalu.
Songkok to Bone umumnya 2 warna yaitu warna hitam dan krem dengan warna pamiring keemasan.
Pada masa kejayaan kerajaan Bugis dan Makassar, songkok ini hanya bisa dipakai dari kalangan bangsawan tinggi dan memiliki aturan-aturan. Adapun aturannya adalah :
1.Bagi bangsawan tinggi atau berkedudukan sebagai raja dari kerajaan besar dan bagi anak raja yang berketurunan Maddara Takku ( berdara biru), anak Mattola, Anak Matase’ dapat menggunakan songkok pamiring yang selurunya terbuat dari emas murni (bahasa bugis “ulaweng bubbu”).
2.Bagi Arung Mattola Menre, Anak Arung Manrapi, Anak Arung Sipuwe dan Anakarung dapat memakai songkok pamiring dengan lebar emasnya tiga per lima dari tinggi songkok.
3.Bagi golongan Rajeng Matase, Rajeng Malebbi dapat memakai songkong pamiring dengan lebar emas setengah dari tinggi songkok.
4.Golongan Tau Deceng, Tau Maradeka dan Tau Sama diperkenankan memakai songkok bone dengan pinggiran emas.
5.Golongan Ata sama sekali tidak dibenarkan memakai songkok ini.
Seiring dengan perkembangan zaman, aturan-aturan diatas tidak berlaku lagi dan semua lapisan masyarakat bisa memakainya.
Songkok to Bone sudah banyak dijual toko pakaian adat di Bone, Makassar, Wajo, Soppeng dan daerahnya lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Songkok pamiring sudah bisa didapat dengan harga minamal 50 ribu. Mengenai model pemiring emasnya tergantung dari kemampuan orang untuk membelinya.
Yang lebih menarik lagi, songkok Bone tidak perlu dipadukan dengan jas tutup (Pakaian adat Bugis) tetapi bisa dipadukan dengan kemeja atau kaos oblong. Selain itu bukan hanya dipakai kalau ada cara adat seperti pesta perkawinan atau pesta adat tetapi bisa dipakai untuk jalan-jalan atau acara-acara yang tidak resmi lainnya.