Kajaolalido
(tulisan yang benar: Kajao Lali’do) adalah seorang penasehat pribadi
raja Bone di saat kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya. Dari kata
“Kajao” saja telah terpancar arti, bahwa penasehat pribadi raja Bone itu
adalah seorang yang berpengatahuan luas di jamannya, ahli tatanegara
dan ahli pemerintahan. Kajao Lali’do-lah yang dengan berani meluruskan
pendapat, memberikan nasehat, saran-saran yang berguna kepada raja Bone
dalam menjalankan pemerintahan di dalam kerajaannya.
Nasehat dan
saran-saran Kajao Lali’do mengandung mutu dan nilai yang tinggi. Untuk
lebih jelasnya, berikut petikan percakapan antara Kajao Lali’do dengan
raja Bone perihal persoalan pemerintahan.
Kajao Lali’do berkata:
“Ya, Arungpone! Apakah yang menyebabkan sehingga kemuliaan raja itu
tidak jatuh, kerajaannya senantiasa teguh berdiri, rakyatnya tidak
bercerai-berai dan harta benda tidak terhambur?”
“Kejujuran dan kepintaran, Kajao!”, jawab Arungpone.
“Itu
juga, tapi sebenarnya bukan juga, karena semua itu ada empat pokok
penyebabnya,” tambah Kajao. “Pertama, kalau ada yang hendak dikerjakan
oleh Baginda, sebaiknya tidak tidur siang malam memikirkan akibat
pekerjaan itu.
Baru dikerjakan jika sudah ditetapkan kesudahan
pekerjaan itu adalah kebaikan. Kedua, hendaklah mengeluarkan perkataan
yang benar, menyesuaikan pembicaraan dengan sepantasnya, sanggup
menghadapi (mengikuti)
pembicaraan orang dan dapat memberikan jawaban
yang tepat. Ketiga, menepati janji serta tidak undur dari apa yang
telah diucapkan. Dan keempat, pesuruh raja tidak lalai dan tidak pelupa
akan apa yang disuruhkan kepadanya.”
“Lalu apa pokok dari kepintaran itu, Kajao?”, tanya Arungpone.
“Jujur, itulah pokoknya!”
“Apa saksinya?”
“Seruan! (Bugis: O’bie)”
“Apakah seruan itu?”, kejar Arungpone.
“Seruan
adalah jangan mengambil barang yang bukan milikmu. Jangan mengambil
tanaman yang bukan kau tanam. Jangan mengambil kayu yang sudah
dipotong-potong (Bugis: Wattawali), kalau bukan engkau yang potong.
Sebab jika itu terjadi, musuh akan mudah masuk ke dalam negeri dan sulit
diusir keluar,” jawab Kajao tenang.
Senang mendengar jawaban
Kajao, Arungpone bertanya lagi, “Baik. Lalu apakah yang menyebabkan
runtuhnya sebuah kerajaan besar, Kajao?”
“Ada lima tandanya suatu kerajaan besar akan runtuh.
- Pertama, raja dalam negeri itu sudah tidak mau dinasehati lagi atau ditegur akan kesalahannya.
- Kedua, kalau tidak ada orang pandai dalam negeri.
- Ketiga, kalau pabbicara (hakim) makan suap.
- Keempat, kalau rakyat berbuat sesuka hatinya lantaran tak ada lagi yang ditakutinya.
- Dan kelima, kalau raja sudah tidak suka lagi memberikan pengasihan atau pengampunan kepada rakyatnya sebagaimana mestinya.”
Arungpone terdiam sejenak. “Begitu. Lalu apa tandanya suatu daerah kecil akan menjadi besar?”
“Juga
lima tandanya,” jawab Kajao mantap. “Pertama, rajanya jujur dan pintar.
Kedua, rajanya menerima petunjuk dari penasehatnya. Ketiga, bermufakat
dengan orang-orang tuadalam negeri. Keempat, tenrilukkai bicarae (apa
yang telah diputuskan tidak boleh dibatalkan lagi). Dan kelima, bersatu
hati rakyat dalam negeri.”
Penasaran, baginda Arungpone
melancarkan pertanyannya lagi, “Kajao, tadi adalah tanda kerajaan yang
baik. Tapi kalau kerajaan yang tidak baik, apa tanda-tandanya?”
“Juga
ada lima tandanya. Pertama, terlalu banyak keinginan rajanya. Kedua,
pabbicara (hakim) makan suap. Ketiga, rajanya suka murka jika ripakainge
(dinasehati). Keempat, jika raja tidak melarang putra-putranya dan
kawan-kawannya berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dan terakhir,
kalau tidak memperkuat putusan yang telah diambil orang-orang tua dalam
negeri!”
“Apa pula tandanya padi berhasil dalam negeri, Kajao?”
“Ada
lima tandanya. Pertama, jika raja jujur. Kedua, jika pabbicara (hakim)
jujur dalam memutuskan perkara dan tidak makan suap. Ketiga, tak ada
pencurian dalam negeri. Keempat, jika benar putusan suatu perkara.
Kelima, jika rakyat dalam negeri bersatu,” jawab Kajao merendah.
Dimiliki Raja Lain
Penasehat
pribadi raja Bone seperti Kajao Lali’do sebenarnya dimiliki pula oleh
beberapa raja lainnya di Sulawesi Selatan, seperti raja Sidenreng dengan
Nene’ Allomo, raja Luwu dengan Matcae, dan raja Gowa dengan Boto
Lempangang.
Yang jelas, percakapan antara Kajao Lali’do dengan raja
Bone ini baiknya diresapi dan dengan jernih ‘ditarik’ di kekinian negeri
kita atas multi persoalan yang melanda.
Sumber :Sejarah Bugis
:http://barisanpinggiran.wordpress.com