Saat ini komunitas itu memiliki seorang pemimpin yang masih dianggap sebagai
raja, yaitu Datu Sangaji, Arung Bentengpola generasi ke-28. Secara
administratif maupun struktural, Arung Bentengpola kini tidak memiliki
kewenangan. Namun demikian, keberadaannya dianggap mewakili tokoh informal.
Beberapa saat yang lalu, Rumpung Bentengpola menggelar ritual penobatan
ulang Arung Bentengpola, yang kini berusia 80 tahun. Pesta yang sudah lebih
dari lima puluh tahun tidak pernah diadakan. Ritual yang hampir mirip dengan
ritual perjamuan oleh sang raja ini, dilengkapi dengan semua bentuk kesenian
yang dilakukan oleh Para Bissu. Bissu adalah para abdi kerajaan yang terdiri
dari para waria.
Komunitas Arung Bentengpola yang masih tersisa sampai saat ini, bisa menjadi
sebuah mosaik untuk memahami Kerajaan Wajo. Pemerintahan Kerajaan Wajo
menempatkan Arung Bentengpola sebagai lembaga yang mengangkat dan melengserkan
Arung Matowa atau raja Kerajaan Wajo. Inilah keunikan yang membedakan antara
Kerajaan Wajo dengan kerajaan Bugis lainnya.
Sumber lain menyatakan bahwa Kerajaan Wajo didirikan sekitar tahun 1450, di
wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya
disebut “Raja Wajo”. Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu
Cinnotabi. Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah
terbentuknya wajo. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit
kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya beliau bertemu
dengan putra Arumpone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan
membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra,
seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di
Cinnotabi. Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang
berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Dimana posisi Batara
Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat
monarki konstitusional.
Masa keemasan Wajo dicapai di pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung.
Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama
Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu. Wajo memeluk islam
secara resmi ditahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan
Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman
kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri
Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba
dan meninggal disana Wajo terlibat perang Makassar 1660-1669 disebabkan karena
persoalan geopolitik di dataran tengah sulawesi yang tidak stabil dan posisi
Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin.
Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani
perjanjian Bongayya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah
terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang.
Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan
membangun komunitas sosial ekonomi didaerah rantauannya. La Mohang Daeng
Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau
ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Raja Wajo, yang disebut sebagai Arung Matowa bukan merupakan jabatan yang
turun temurun. Arung Matowa dipilih dari rakyat Wajo dan diangkat oleh
perwakilan rakyat Wajo yang dipimpin Arung Bentengpola. Siapa sangka, kerajaan
yang dibangun beratus-ratus tahun lalu ini memiliki sistem demokrasi yang
modern. Sesungguhnya ini adalah warisan yang amat berharga bagi masyarakat
kini.
Sejak dahulu kerajaan wajo tidak seperti halnya dengan kerajaan yang ada di
sulawesi maupun yang ada di nusantara ini. Kerajaan wajo bukanlah milik
kalangan tertentu atau bangsawan saja yang diwariskan secara turun temurun.
Kerajaan wajo merupakan kerajaan bersama pemerintah dengan rakyat. Seorang raja
diangkat bukan berdasarkan keturunan tetapi melalui hasil keputusan rapat
pemangku adat atau rapat dewan adat Arung Patappulo’e (dewan adat beranggotakan
40 orang). Jadi sejak dahulu di wajo telah dibentuk anggota dewan sama seperti
yang ada di indonesia sekarang.
Seorang Raja/Arung yang diangkat harus tunduk kepada peraturan-peraturan
yang telah ditetapkan dan harus menghargai kebebasan atau kemerdekaan setiap
individu yang ada di wajo. Di wajo ditanamkan sikap kemerdekaan yang tinggi,
setiap raja harus menanamkan bahwa ”To Wajo’e Ri Laleng Tampu Mopi Na Maradeka”
artinya “setiap orang wajo itu masihsejak di dalam kandungan dia sudah merdeka”
jadi tidak satupun yang boleh merampas kebebasan tersebut sekalipun itu seorang
raja.
Kini bekas kerajaan yang berakhir tahun 1948, adalah wilayah yang kemudian
disebut sebagai Kabupaten Wajo. Sumber penghidupan masyarakat Wajo sejak masa
kerajaan yaitu pertanian, perikanan dan perkebunan, sampai sekarang masih
menjadi andalan mereka.
Kejayaan Bugis masa lalu, dipercaya karena kesediaan masyarakat Bugis waktu
itu menghargai keberadaan para Arung atau raja. Para Arung atau raja adalah
pusat kekuasaan dan kesejahteraan mereka. Pada masa kini, sebuah simbol
barangkali memang masih dibutuhkan kehadirannya, untuk menyatukan masyarakat
dalam harmoni. Harmoni untuk kedamaian hidup bermasyarakat.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, beliau
membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan
melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La
Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik disaat
perang, pada zamannya beliau memajukan posisi wajo secara sosial politik
diantara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi
struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral)
Koronele (Kolonel) Manynyoro (Mayor) dan Kapiteng (Kapten). Beliau juga
menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian bongayya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat
keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa’na Wajo. Sehingga kekalahan
Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus
membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai
pembaruan dari Large Veklaring. Wajo dibawah RIS dalam hal ini NIT berbentuk
swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konfrensi Meja Bundar, Wajo bersama
swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten tepatnya ditahun 1957. Antara tahun
1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak
pemberontahan DI TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah Bupati. Wajo yang
dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja akhirnya
menjadi kabupaten.
”Maradeka To Wajo’e Ade’na Napapuang” kata tersebut secara bebas
berarti merdeka orang wajo hanya adat yang dijunjung/diabdikan. Tentu timbul
pertanyaan mengapa filosofi tersebut bisa muncul dan menjadi pegangan
orang-orang wajo bahkan sampai dijadikan lambang resmi dari Kabupaten Wajo.
Konsep kemerdekaan dari para raja dan cendekia Wajo:
Latenri Bali, Batara Wajo 1
“Maradeka to wajoe taro pasoro gau’na, naisseng alena, ade’na napopuang”
Artinya:
“Merdeka orang wajo, bertanggungjawab, tahu diri, hanya adatlah yang menjadi
hukum penentu”
Adek amaradekangenna to Wajoe (Perjanjian
Kemerdekaan Orang Wajo)
“Napoalebbirenggi to wajoe maradeka, malempu, namapaccing rigau salae,
mareso mappalaong, namaparekki riwarangparangna”
Artinya :
“orang wajo lebih memilih merdeka, jujur, menghindari perbuatan tercela,
ulet dan hemat”
Puang Ri Maggalatung, batara wajo IV
“Maradeka to wajoe najajiang alena maradeka, tanaemi ata, naia tau
makketanae maradekamaneng, rilaleng tampumupi namaradeka napoada adanna,
napogau gauna ade’ assimaturusengmi napapoang”
Artinya:
“Merdeka orang wajo, lahir dengan merdeka, tanah yang jadi bawahan, setiap
orang yang hidup di wajo merdeka semua, bebas berpendapat, bebas bekerja, hanya
kata sepakat yang jadi pedoman hukum
Demikianlah kearifan lokal dari budaya wajo, semoga kita bisa meneladani
sifat para raja wajo yang selalu tunduk pada aturan, tidak serakah. Selalu
mengikuti keinginan rakyat bukannya mempermainkan rakyat dengan janji-janji
manis. Raja wajo adalah orang yang rendah diri, menghormati anggota dewan,
sayang dengan rakyat, jujur, ulet, menghindari sifat tercela. Orang wajo bebas
berpendapat tetapi menghindari kata-kata yang yang tercela apalagi menyinggung.
Marilah kita lestarikan nilai kearifan budaya kita dengan tetap santun,
menghormati kemerdekaan yang ada pada orang lain. Jangan sampai terjadi seperti
ucapan salah satu pemerhati budaya wajo. Beliau menyatakan jangan sampe warisan
budaya ammaradekangenna to wajoe (kemerdekaan orang wajo) kita salah artikan
menjadi
”MARADEKA TO WAJOE MATANRE SIRI TAPI DE’ NAPPAU, ANDI’E NAPAPUANG”
(merdeka orang wajo, rasa malunya tinggi tapi cuma diam, andi(bangsawan)
saja yang di tonjolkan/diabdikan/dijunjung/disanjung/dihormati)
Jadi jika ingin belajar tentan demokrasi tidak perlu jauh-jauh ke Luar
Negeri, cukup membuka dan mempelajari sejarah dan catatan peninggalan masa
lampau seperti dari Kerajaan Wajo.
Berikut kami tuliskan daftar raja-raja wajo. Daftar ini tidak dijamin
kevalidannya, namun mudah-mudahan dapat menjadi salah satu referensi.
1. La Palewo to Palippu (±1474-1481)
2. La Obbi Settiriware (±1481-1486)
3. La Tenriumpu to Langi (±1486-1491)
4. La Tadampare Puangrimaggalatung (±1491-1521) Lowong 3 tahun
5. La Tenri Pakado To Nampe (±1524-1535)
6. La Temmassonge (±1535-1538).
7. La Warani To Temmagiang (±1538-1547).
8. La Malagenni (±1547)
9. La Mappauli To Appamadeng (±1547-1564)
10. La Pakoko To Pa’bele’ (±1564-2567)
11. La Mungkace To Uddamang (±1567-1607)
12. La Sangkuru Patau Mulajaji (±1607-1610)
13. La Mappepulu To Appamole (±1612-1616)
14. La Samalewa To Appakiung (±1616-1621)
15. La Pakallongi To Alinrungi (±1621-1626)
16. To Mappassaungnge (±1627-1628).
17. La Pakallongi To Alinrungi (1628-1636),
18. La Tenri lai to Udamang (1636-1639)
19. Isigajang To Bunne (±1639-1643),
20. La Makkaraka To Patemmui (±1643-1648).
21. La Temmasonge (±1648-1651)
22. La Paramma To Rewo (±1651-1658)
23. La Tenri Lai To Sengngeng (±1658-1670)
24. La Palili To Malu’ (±1670-1679)
25. La Pariusi Daeng Manyampa (±1679-1699),
26. La Tenri Sessu (±1699-1702)
27. La Mattone’ (±1702-1703)
28. La Galigo To Sunnia (±1703-1712)
29. La Tenri Werung (±1712-1715)
30. La Salewangeng To Tenriruwa (±1715-1736)
31. La Maddukkelleng Daeng Simpuang (±1736-1754)
32. La Mad’danaca (±1754-1755)
33. La Passaung (±1758-1761)
34. La Mappajung puanna salowo (1761-1767)
35. La Malliungeng (±1767-1770) Lowong 25 tahun
36. La Mallalengeng (±1795-1817) Lowong 4 tahun
37. La Manang (±1821-1825). Lowong 14 tahun
38. La Pa’dengngeng (±1839-1845) Lowong 9 tahun
39. La Pawellangi PajumperoE (±1854-1859).
40. La Cincing Akil Ali (±1859-1885)
41. La Koro (±1885-1891)
42. La Patongai Datu Lompulle
Korte Veklaring 1906 menyebabkan berubahnya status kerajaan Wajo menjadi
bagian dari jajahan Belanda dan berubahnya struktur kerajaan menjadi
Onder-Afdeling Wajo dibawah Afdeling Bone
43. Ishak Manggabarani Krg Mangeppe (1900-1916) Lowong 10 tahun
44. A.Oddangpero Datu Larompong (1926-1933)
45. A.Mangkona Datu Mario (1933-1949)
Pjs Arung Matowa (peralihan).
1. A.Sumangerukka datu pattojo (ex patola putra AMW 44) 1949
2. A. Ninnong (ex ranreng tuwa) 1949
Pemerintah Daerah era transisi (1950-1957)
1. A.Pallawarukka (ex pilla)
2. A. Magga Amirullah (ex sulewatang pugi)
3. A. Pallawarukka (masa jabatan kedua)
Bupati (1957-sekarang)