Manuel
Pinto, seorang berkebangsaan Portugsi lainnya malah sempat menetap
selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun
1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai
dengan penduduk sekitar 300.000 orang. Ada yang berpendapat bahwa asumsi
penduduk di tahun 1548 M yang disebut Pinto terlalu besar. Namun dengan
kebesaran dan kejayaan Sidenreng di masa itu, tak menutup kemungkinan
bahwa Sidereng mempunyai wilayah yang jauh lebih luas daripada Kabupaten
Sidenreng Rappang atau wilayah Ajatappareng sekarang ini.
Ia
juga menceritakan aktivitas perdagangan di kerajaan ini yang dikunjungi
pedangang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis dengan
muggunakan jalur laut menuju Tappareng Karaja. Pinto menulis, “Sebuah
fusta besar (kapal layar portugis yang panjang dan dilengkapi deretan
dayung di kedua sisinya) dapat berlayar dari laut munuju Sidereng.”
(Wicki, Documents Indica, II: 420-2). Hal
ini diperkuat oleh Crawfurd pada 1828 (Descriptive Dictionary; 74, 441)
yang menulis, “pada kampung-kakmpung di tepi (danau)... berlangsung
perdagangan luar negeri yang peset. Perahu-perahu dagang dihela ke hulu
sungai Cenrana...Kecuali pada musim kemarau, airnya cukup dalam untuk
dilewati perahu-perahu paling besar sekalipun.”
Sejarawan
lainnya mencatat, “Sidenreng adalah perbatasan wilayah pengaruh Luwu
dan Siang, terletak di antara dataran yang merupakan satu-satunya celah
alami antara gugusan gunung yang memisahkan pantai barat dan timur
semenanjung Sulawesi Selatan.” (Andaya 2004, Warisan Arung Palakka,
Sejarah Sulawesi di Abad XVII). Dalam
literatur lain, Rappang disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai
daerah hilir Sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Sidenreng,
Sawitto, Alitta, Suppa, dan Bacukiki, mereka membentuk persekutuan
Aja’Tappareng (wilayah barat danau) untuk membendung dominasi Luwu.
Persekutuan itu kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluarga
raja-raja mereka.
Ada
dua versi mengenai cikal bakal Kerajaan Sidenreng dan Rappang. Versi
pertama mengklaim bahwa asal muasal raja bermula dari La Maddaremmeng
yang berasal dari Sangalla, Tanah Toraja. La Maddaremmeng meninggalkan
kampung halamannya dan berpindah ke Sidenreng. Ia memiliki seorang putri
bernama Bolopatinna yang menikah dengan Datu Pantilang. Pasangan
inilah yang kemudian menurunkan generasi yang memerintah Sidereng dan
Rappang. Seorang
putri Bolpatinna yakni We Tipu Uleng ditempatkan sebagai raja di
Sidenreng, sedangkan saudaranya La Mallibureng sebagai Arung di Rappang.
Namun karena masyarakat Sidenreng enggan diperintah seorang perempuan,
keduannya kemudian saling bertukar raja. La Mallibureng menjadi
raja di Sidenreng dengan gelar Addowang, sedangkan We Tipu Uleng
yang bergelar Arung sebagai raja di Rappang. Gelar Addowang si Sidereng
kemudian berubah menjadi Addatuang. Sementara Rappang tetap memakai
gelar Arung.
Versi
lainnya menyakini bahwa asal usul raja berasal dari langit yang dikirim
ke bumi oleh Dewata Seuwae, karena itu disebut dengan Manurungnge.
Menurut versi ini, Addowang Sidenreng pertama adalah Manurungnge Bulu
Lowa. Setelah mangkat, ia digantikan oleh anaknya Sukkung Mpulaweng yang
kemudian kawin dengan Pawawoi Arung Bacukiki, putri Labanggenge,
Manurung ngeri Bacukiki dari perkawinannya dengan Arung Rappang I, We
Tipu Linge. We Tipu juga diyakini seorang Manurung yang muncul di
Lawaramparang.
Meski
memiliki perbedaan, namun kedua versi tersebut menggambarkan pertautan
antara Sidenreng dan Rappang sudah ada sejak awal. Itu Sebabnya, kedua
kerajaan memiliki hubungan yang sangat erat. Terbukti dengan sumpah
kedua kerajaan yang dipegang teguh hingga Addatuang Sidenreng terakhir,
yakni: Mate Elei Sidenreng, Mate Arewengngi Rappang (bahasa Bugis),
Artinya, Jika Sidenreng mati dipagi hari, sorenya Rappang akan menyusul.
Sebuah ikrar solidaritas sehidup semati yang dipegang teguh setiap raja
atau arung yang memerintah di kedua kerajaan.
Walau
demikian, kedua kerajaan ini juga memiliki perbedaan yang sangat
mendasar dalam sistem pemerintahan. Kerajaan Sidenreng menerapkan sistem
yang Top Down yang dalam bahasa Bugis disebut Massorong Pao, sedangkan
Rappang justru sudah lebih maju dalam menerapkan demokrasi dengan
menganut sistem Mangelle Pasang (Buttom Up). Namu perbedaan itu tidak
memisahkan hubungan keduanya. Malah, pada Tahun 1889, Kerajaan Sidenreng
dan Kerajaan Rappang justru diperintah oleh seorang raja bernama
Lapanguriseng. Ia menjadi Addatuang X sekaligus Arung Rappang XIX. Hal
yang sama juga diteruskan oleh putranya, Lasadapotto, Addatuan
Sidenreng XII yang naik tahta menggantikan saudaranya, Sumangerukka,
yang tidak memiliki keturunan.
Dalam perjalanannya, Kerajaan Sidenreng dan Rappang mengalami pasang surut pemerintahan, hingga pada Tahun 1906 kedua kerajaan yang ketika itu diperintah La Sadapotto, Addatuang Sidenreng XII sekaligus Arung Rappang XX, akhirnya dipaksa tunduk kepada kolonial Belanda setelah melalui perlawanan yang sengit. Wilayah kedua kerajaan ini kemudian berstatus distrik dalam wilayah onderafdeling Parepare. Selanjutnya pada Tahun 1917 kedua wilayah tersebut digabung menjadi satu, sebagai bagian dari wilayah pemerintahan Afdeling Parepare yang meliputi:
1. Onderafdeling Sidenreng Rappang
2. Onderafdeling Pinrang
3. Onderafdeling Parepare
4. Onderafdeling Enrekang
5. Onderafdeling Barru
Onderafdeling Sidenreng Rappang di bawah pemerintahan Controleur yang
berkedudukan di Rappang, dengan membawahi wilayah administrasi daerah
adat yang disebut Regen. Keadaan ini berlangsung hingga masa pendudukan
Pemerintahan Jepang yang pada masa itu berada dibawah pengawasan Bunken
Kanrikan. Seiring
fajar kemerdekaan yang menyingsing pada 17 Agustus 1945, gelora
semangat persatuan Indonesia tak terbendung lagi. Maka dengan dukungan
penuh seluruh masyarakat, Sidenreng Rappang menyatakan diri sebagai
bagian dari negera kesatuan Republik Indonesia.
Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor U. P. 7/73-374 tanggal 28 Januari 1960 yang menetapkan Andi Sapada
Mappangile sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sidenreng Rappang
yang pertama. Pada 18 Peberuari 1960, Andi Sapada Mappangile kemudian
dilantik sebagai Bupati oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan. Atas
dasar pelantikan Bupati tersebut , maka ditetapkan tanggal 18 Pebruari
1960 sebagai hari jadi daerah Kabupaten Sidenreng Rappang yang
diperingati setiap tahunnya. Sejak
itu berakhir sudah pemerintahan feodal para bangsawan To Manurung yang
telah berlangsung berabad-abad. Namun yang jauh lebih penting adalah
tumbuhnya rasa kebangsaan sebagai warga negara Indonesia yang memiliki
persamaan hak dan derajat.
Sejak terbentuknya hingga kini, Kabupaten Sidenreng Rappang telah dipimpin oleh putra-putra terbaik sebagai berikut:
1. H. Andi Sapada Mappangile (1960 – 1966)
2. H. Arifin Nu’mang (1966 – 1978)
3. H. Opu Sidik (1978 – 1988)
4. H. M. Yunus Bandu (1988 – 1993)
5. Drs. A. Salipolo Palalloi (1993 – 1998)
6. HS. Parawansa, SH (1998 – 2003)
7. H. Andi Ranggong (2003 – 2008)
8. H. Rusdi Masse (2008 - Sekarang)
Sesuai dengan tuntutan perubahan dengan pertimbangan
efektifitas pelaksanaan pemerintahan di era kepemimpinan HS. Parawansa,
SH. ketujuh kecamatan dimekarkan menjadi sebelas sesuai Peraturan Daerah
Kabupaten Sidenreng Rappang Nomor 10 Tahun 2000 tentang Pembentukan dan
Susunan Organisasi Kecamatan dan Kelurahan. Masing-masing:
1. Kecamatan Panca Lautang;
2. Kecamatan Tellu Limpoe;
3. Kecamatan Watang Pulu;
4. Kecamatan Maritengngae;
5. Kecamatan Baranti;
6. Kecamatan Panca Rijang;
7. Kecamatan Kulo;
8. Kecamatan Sidenreng;
9. Kecamatan Pitu Riawa;
10. Kecamatan Dua Pitue;
11. Kecamatan Pitu Riase.